Politik Kekuasaan: Menegaskan Performa Perjuangan NU-PKB

KH. Imam Jazuli, Lc., M.A., Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia di Cirebon, Wakil Ketua Pimpinan Pusat RMI; PBNU Periode 2010-2015; Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir; UKM Malaysia; Universiti Malaya

SETELAH menelaah isinya dan gagasan besar yang berada di baliknya, maka buku ini adalah “the must read-book”, buku yang wajib dibaca. Terutama warga NU dan umumnya umat Islam, khususnya generasi muda yang mengidealisasikan perubahan Indonesia ke depan. Kenapa?

Sebelum menjawab pertanyaan mendasar itu, lebih baik kita mengenal penulisnya. Hal ini supaya mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan objektif.

Penulis buku ini adalah seorang kiai muda NU yang memimpin pesantren besar di Cirebon. Yaitu Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2. Jumlah santrinya sudah 4000 dengan luas area pesantren mencapai 32 hektare Luar biasa! Di dunia pendidikan, beliau dikenal sebagai sosok yang kaya terobosan yang melampaui mayoritas sehingga disebut “without the box thinker”.

Karena memiliki visi dan energi yang besar, KH. Imam Jazuli tetap bisa menulis di tengah kesibukannya memimpin pesantren. Beliau menulis tentang pendidikan, politik, tasawuf, filsafat, ke-NU-an, dan juga problem kebangsaan dan keumatan.

Karena itu, bagi NU dan PKB, Kiai Imam Jazuli adalah sang ideolog sejati. Selain mampu menghadirkan gambaran besar mengenai sebuah langkah dan tujuan dari keyakinan dan pemahaman, juga mampu memberikan perspektif yang membumi. Buktinya adalah buku ini.

Di samping itu, sang ideolog memiliki keberanian untuk menyampaikan, keberanian untuk berkorban, dan keberanian untuk berdiri di atas prinsip.

Dan di atas dari semua itu, berkali-kali beliau mendeklarasikan bahwa puncak karier beliau adalah menjadi guru ngaji di pesantrennya. Tidak ada kepentingan pragmatis-individualis yang diperjuangkan oleh beliau dengan seluruh gerakan cintanya pada NU selain untuk kemaslahatan.

Buku ini lahir dari besarnya rasa cinta itu,  keberanian hati, dan kecakapan dalam menyampaikan gagasan besar itu. Menurut penulis, rasa cinta terhadap NU tidak bisa hanya diaktualisasikan pada NU semata di ruang ibadah (formal).

Kenapa? Karena NU bersama kekuatan lain di negeri ini memiliki agenda perjuangan untuk menata bangsa di wilayah kehidupan sosial dalam berbangsa dan bernegara.

Agar agenda perjuangan tersebut hadir lebih powerful di lapangan, maka dibutuhkan kekuatan politik yang menopangnya dan atas alasan itulah PKB dilahirkan oleh tokoh-tokoh NU. Karena itu, mencintai NU harus berimplikasi pada mencintai PKB sebagai pilihan politiknya. “Kalau tidak, cintanya hanya beberapa karat,” tulis beliau di Bab 2.

Ketika cinta tak terbelah, maka NU-PKB memiliki power perjuangan yang paling besar yang disebut senjata politik kekuasaan. Penulis mencontohkan Sunan Gunung Jati dan Wali Songo lainnya. Dengan kekuasaan di tangan, maka agenda perjuangan Sunan Gunung Jati menjadi lebih cepat mobilisasinya, lebih strategis sasarannya, dan lebih massif pengaruhnya.

Ketika PKB mendapatkan kekuasaan yang besar karena aspirasi politik warga NU yang ditumpahkan sebagai panggilan cinta, sudah pasti hal itu bukan semata kemenangan PKB, tapi kemenangan NU juga.

Hal ini beda jika seandainya agenda perjuangan NU hanya digerakkan melalui politik kebangsaan. Memang tetap baik, tetapi tidak kuat. Bahkan jika dijalankan dengan mindset yang minder, misalnya tetap butuh dukungan kekuasaan karena feeling of lack (rasa kurang), ini justru memperlemah posisi NU.

Penulis buku ini menggambarkan seperti gajah yang kena penyakit beri-beri. Badannya besar tetapi kekuatannya kecil. Karena itu, memisahkan NU dengan PKB sama artinya dengan menjadikan NU bagaikan tanah tak bertuan dan ini sangat membingungkan Nahdliyyiin (Bab 6).

Maka diaspora politik NU yang kemana-mana harus segera diakhiri dan kembali ke pangkuan PKB (Bab 13). Apakah hal ini tidak bertentangan dengan Khittah Muktamar Situbondo? Penulis menjelaskan bahwa justru hal ini merupakan aktualisasi dari Khittah tersebut secara aktual (sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman).

Bahkan jika merujuk pada Surat Tugas PBNU Nomor 925/A. II/03/6/1998 tanggal 27 Shofar 1419/22 Juni 1998, maka justru alur logika penulis inilah yang sinkron dengan Surat Tugas tersebut.

Dengan Surat tersebut berarti NU merespon kebutuhan zaman dengan melahirkan partai politik, dan PKB adalah adalah satu-satunya partai yang lahir dari rahim NU. Karena itu, “PBNU Wajib Mengamanahkan Warga NU Menjadi Ber-PKB, Inilah yang Semestinya”, demikian tegas penulis di Bab 2.

Tentu ada banyak alasan besar dan tujuan yang strategis kenapa langkah itu perlu diambil. Di antaranya adalah soal dakwah. Menurut penulis, perlunya politik praktis (politik kekuasaan) demi masa depan akidah ahlus sunnah wal jama’ah (Bab 10).

Selain memberikan landasan dan arahan terkait hubungan NU-PKB yang semestinya, buku ini juga menjadi bacaan segar bagi generasi muda.

Di alam keterbukaan informasi seperti sekarang, semakin banyak jumlah generasi muda yang mengidealisasikan perubahan Indonesia masa depan. Hal ini sangat positif asalkan diwujudkan ke dalam cara-cara yang kuat dan cerdas (al-mukmin al-qowi).

Dalam arti bahwa idealisasi tersebut diwujudkan ke dalam kesadaran untuk berpolitik dengan memenuhi rentetan persyaratannya. Misalnya, antara lain membekali diri dengan pengalaman politik, ilmu politik, terjun di gerakan politik, memiliki visi politik, dan masuk ke partai politik. Menurut penulis, sekarang ini sudah tidak relevan lagi jargon Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam No (Bab 6). Bahkan khusus untuk warga NU, saatnya hari ini mengangkat kalimat yang sama: NU Yes, Politik NU Yes (Bab 8).

Jangan sampai idealisasi perubahan tersebut hanya dimuntahkan ke dalam cara-cara orang lemah yang hidup dengan khayalan: banyak bicara perubahan di ruang hampa, ribut sendiri dengan sesama, di grup WA, tidak melakukan apa-apa, dan ini semua berbahaya. Selamat membaca! *(Dr. H. Abdul Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Wakil Ketua DPR RI)