Beranda Klinik Hukum Penetapan Ahli Waris Fiktif, Senjata Mafia Tanah Merampas Hak Rakyat

Penetapan Ahli Waris Fiktif, Senjata Mafia Tanah Merampas Hak Rakyat

5

Oleh Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.
Di balik deretan bangunan mewah yang tiba-tiba menjulang di pinggiran kota, ada kisah kelam tentang tanah yang berpindah tangan tanpa sepengetahuan pemilik sahnya. Modusnya rapi, melibatkan dokumen resmi, tanda tangan aparat, bahkan ketukan palu hakim. Di tengah pusaran itu, penetapan ahli waris alias PAW fiktif oleh pengadilan agama muncul sebagai celah hukum yang dimanfaatkan mafia tanah untuk mengubah status kepemilikan lahan secara legal, meskipun sesungguhnya ilegal.

Mereka yang “Meninggal” Dua Kali.

Warga Desa Tgalluar, Kabupaten Bandung, dibuat geger ketika mengetahui bahwa sebidang tanah milik almarhum Haji Tajib, yang sudah 20 tahun tidak diurus ahli warisnya, tiba-tiba sudah bersertifikat atas nama orang lain. Setelah ditelusuri, tanah tersebut ternyata berpindah hak melalui penetapan ahli waris oleh Pengadilan Agama, dengan menyebut lima nama yang mengaku anak kandung almarhum, padahal hanya satu dari mereka yang dikenal warga.

Tak ada sidang sengketa, tak ada keberatan dari pihak keluarga, karena memang mereka tidak pernah tahu proses ini terjadi. Surat keterangan waris dari desa, yang digunakan sebagai bukti penguat di pengadilan, ternyata ditandatangani oleh mantan kepala desa yang sudah pensiun lima tahun sebelumnya. Dua saksi yang membubuhkan tanda tangan dalam surat itu kini sulit dilacak keberadaannya.

Ada Lubang Gelap dalam Prosedur Pengadilan.

Penetapan ahli waris di Pengadilan Agama merupakan perkara non-kontensius (atau voluntair). Artinya, cukup dengan bukti dokumen, dua orang saksi, dan keterangan pemohon, maka hakim dapat mengetuk palu mengesahkan siapa saja yang dinyatakan sebagai ahli waris sah. Prosedur ini semestinya untuk mempermudah masyarakat, namun kini diselewengkan menjadi alat mafia untuk memalsukan sejarah keluarga.

“Permohonan diajukan satu pihak. Kalau surat dan saksinya rapi, bisa saja hakim tidak mendalami terlalu jauh,” ujar seorang hakim yang enggan disebutkan namanya. Ia mengakui, tanpa data verifikasi silang dengan Disdukcapil, banyak penetapan hanya berdasar keyakinan atas keterangan lisan dan dokumen administratif.

Jaringan Rapi, dari Desa hingga Kantor Pertanahan.

Investigasi ini menemukan pola yang berulang. Proses manipulasi dimulai dari desa: surat keterangan waris dikeluarkan atas nama pemohon dan beberapa “saudara” fiktif. Surat ini disahkan oleh oknum perangkat desa yang sudah dikondisikan, baik lewat suap atau tekanan. Di pengadilan, surat dan saksi yang telah diatur memberikan legitimasi hukum. Setelah penetapan turun, para “ahli waris” mengurus balik nama ke kantor pertanahan.

Yang mengkhawatirkan, dalam beberapa kasus, mafia tidak hanya memalsukan hubungan keluarga, tapi juga menghidupkan kembali nama orang yang sudah meninggal, lalu menjadikannya pewaris untuk kemudian “meninggal kembali” demi pembagian harta. Akta kematian, KK, bahkan KTP bisa dipalsukan jika jaringan cukup kuat.

Kapo (72), warga asal Kota Bandung, menangis saat mengetahui tanah warisan ibunya telah berpindah ke tangan orang lain. Ia baru menyadari setelah tanah itu mulai dipagar dan alat berat masuk. Saat ia datang ke BPN, semua dokumen menunjukkan bahwa “ia bukan ahli waris,” karena dalam penetapan pengadilan, namanya tidak tercantum. “Saya ini anak kandung. Tapi kok bisa orang lain yang ditetapkan?”

Ia kini menggugat balik penetapan itu, namun prosesnya panjang dan mahal. “Sementara mafia tanah sudah lepas tangan. Mereka sudah jual ke pihak ketiga yang ngaku beli secara sah,” katanya.

Permasalahan ini menunjukkan betapa rentannya sistem peradilan dan administrasi kita terhadap penyalahgunaan. Ada beberapa hal mendesak yang perlu dilakukan:

  1. Verifikasi silang berbasis data digital antara Pengadilan Agama, Dukcapil, dan ATR/BPN.
  2. Keterlibatan seluruh ahli waris dan pengumuman publik wajib dilakukan dalam proses penetapan.
  3. Penegakan hukum terhadap pemohon palsu, aparat desa, dan saksi fiktif.
  4. Digitalisasi dan keterbukaan informasi warisan, termasuk pendaftaran ahli waris di tingkat RT/RW.

Tanpa pembenahan menyeluruh, mafia tanah akan terus menari di atas kelengahan hukum dan penderitaan korban. Saat negara diam, palu hakim bisa jadi alat perampokan paling rapi di negeri ini.

Penulis seorang Advokat tinggal di Kota Bandung.

Terima kasih atas Koemntar Anda. Ikuti terus kontens portal ini.