Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Melalui Penjualan Barang Jaminan

Eksekusi dengan penjualan barang jaminan atas obyek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui parate eksekusi lewat pelelangan umum dan penjualan di bawah tangan.

Parate Eksekusi Lewat Pelelangan Umum

Barang-barang jaminan, yang telah dibebani dengan fidusia pada dasarnya harus dijual melalui pelelangan umum, yaitu oleh pejabat kantor lelang. Pelelangan barang jaminan dilaksanakan menurut ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan dalam Vendu Reglement, baik Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) atau Balai Lelang Swasta yang telah mendapat izin.

Sebagaimana diketahui dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 306/KMK.01/2002 Tentang Balai Lelang tanggal 13 Juni 2002, Penetapan dan pengaturan perihal Balai Lelang dimaksudkan untuk memberi kesempatan labih luas kepada masyarakat, khususnya dunia usaha menyelenggarakan penjualan lelang. Petunjuk teknis penyelenggaraannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN).

Dengan ketentuan di atas, penjualan lelang dapat dilakukan tidak saja oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN), tetapi juga oleh Balai Lelang Swasta yang didirikan dalam bentuk perorangan atau Badan Hukum Indonesia. Bentuk Balai Lelang Swasta dapat berupa badan usaha Perseroan Terbatas atau koperasi dengan izin Direktur Jendral Piutang Negara (DJPLN) Usaha Balai Lelang.

Hak untuk menjual obyek jaminan tersebut atas kekuasaan sendiri yang dikenal dengan parate eksekusi merupakan hak penerima fidusia berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Fidusia. Hak tersebut dipertegas dengan janji yang harus secara tegas dinyatakan oleh pemberi fidusia bahwa apabila debitur cidera janji, penerima fidusia berhak menjual obyek yang dijamin melalui penjualan umum tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Fidusia.

Selanjutnya kreditur (penerima fidusia) mengambil pelunasan kreditnya dari hasil penjualan tersebut dan mengambilkan sisa hasil penjulannya, bila ada kepada debitur. Sebaliknya apabila hasil penjualan harta debitur tidak mencukupi, kreditur dapat menuntutnya melalui gugatan perdata sebagai kreditur konkuren. Sisa utang pasca eksekusi fidusia tidak hapus, melainkan masih dapat dituntut lagi dikemudian hari atas harta lainnya.

Permintaan untuk segera melakukan eksekusi dimungkinkan berdasarkan perjanjian kredit yang pada umumnya mencantumkan klausul bahwa kredit menjadi jatuh waktu apabila terjadi sebagaimana disebut dalam perjanjian kredit tersebut. Misalnya debitur lain membayar pokok pinjaman dan bunga atas pijaman serta biaya-biaya lain yang terhutang kepada bank atau terjadi penyitaan atas sebagian harta debitur atau bila dinyatakan pailit. Jika ditegaskan dalam perjanjian kredit, kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan atau dianggap sebagai wanprestasi dan mengakibatkan kredit jatuh tempo dan apabila terjadi salah satu peristiwa yang disebut di atas, kredit menjadi jatuh tempo. Penerima fidusia dapat mengajukan permintaan eksekusi. Dalam pelaksanaannya pelunasan piutang pemegang atau penerima fidusia senantiasa didahulukan dari kreditur lainnya.

Contoh kasus, misalnya PT “A” adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang textile. Untuk mengembangkan usahanya PT “A” meminjam uang (kredit) pada Bank “B”. Pada saat kredit macet pada tahun 2007 utang PT.“A” tercatat sebesar Rp. 187 Milyar. PT “A” disita dan akan dilakukan lelang umum oleh Kantor Lelang Negara. Pada saat akan dilelang ternyata mesin tidak ada lagi dipabriknya, mesin tersebut telah diambil oleh lessor (perusahaan leasing). Di sini terjadi pembuatan faktur dan dokumen kepemilikan mesin yang tidak benar oleh debitur. Jaminan lainnya adalah tanah berikut bangunan senilai RP.11 Milyar. Buruh menuntut upah yang belum dibayar sebesar Rp. 1,8 Milyar, Bank “B” hanya mendapat Rp. 9,2 Milyar, Kerugian yang diderita oleh Bank “B” sebesar Rp. 177,8 Milyar. Debitur telah melarikan diri ke luar negeri, sehingga Bank “B” menderita kerugian yang sangat besar.

Berdasarkan kasus inilah dapat dilihat perlunya bank harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dan memperhatikan dokumen yang diberikan oleh debitur dan menyelidiki kebenaran dari dokumen tersebut. Kemungkinan terdapat kolusi antara pejabat bank dengan nasabah, sehingga membuat kredit menjadi macet. Disamping itu ada itikad tidak baik dari debitur untuk melarikan dana yang telah diperoleh dari bank. Padahal dana yang dimiliki bank adalah milik pihak ketiga (masyarakat).

Penjualan secara di bawah tangan

Undang-Undang memungkinkan eksekusi jaminan fidusia melaui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Fidusia). Oleh karena penjualan di bawah tangan dari onjek jaminan fidusia hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang fidusia, bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap obyek jaminan fidusia itu apabila debitur tidak menyetujuinya.

Pelaksanaan penjualan di bawah tangan baru dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Fidusia).

Pada Bank “Y” pelaksanaan penjualan di bawah tangan, tidak didahului oleh pemberitahuan secara tertulis di surat kabar, tetapi langsung dicari peminatnya oleh debitur, setelah sebelumnya ditetapkan nilai minimal penjualan obyek jaminan fidusia oleh apraisal. Hal ini dapat dilaksanakan apabila debitur kooperatif secara sukarela mau menjual sendiri obyek jaminan fidusia, dengan cara ini sama-sama menguntungkan debitur dan kreditur, kredit dapat dilunasi dan beban hutang debitur telah dibayar. Apabila hasil penjualan obyek fidusia melebihi nilai penjaminan, pemberi fidusia dapat megambil kelebihannya dari hasil penjualan tersebut.

Dalam praktiknya parate eksekusi dengan cara penjualan di bawah tangan lebih banyak dilakukan dari pada pelaksanaan parate eksekusi melalui kantor lelang, hal ini karena penjualan jaminan atas obyek jaminan fidusia dengan cara penjualan di bawah tangan lebih menguntungkan. Hal ini dimungkinkan bila debitur beritikad baik. Cara penyelesaian ini biasanya lebih cepat dan tidak ada biaya bea lelang.

Oleh Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM (Firma Hukum BSDR).