Eks Hakim Agung, Gayus : Perampasan Aset Harus Izin Pengadilan

JAKARTA – Gayus Lumbun selaku Mantan Hakim Agung mengatakan, kunci dari perampasan aset tetap berada di penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung maupun Kepolisian. Harusnya penegak hukum yang melaksanakan perampasan aset.

Gayus mengatakan, keberadaan UU Perampasan Aset sangat dibutuhkan. Pelaku kejahatan tidak jera dengan hukuman badan saja jika tidak disertai penyitaan asetnya.

Menurut Gayus, dalam persoalan penyitaan aset ini harus mendapat izin pengadilan. Penyidik harus mendapatkan izin dari pengadilan untuk melakukan penyitaan aset.

“Jadi pelaksananya jangan PPATK. PPATK itu hanya meninformasikan temuannya. Pelaksanaannya adalah lembaga projustisia,” ujar Gayus.

Lanjut Gayus, jadi lembaga yang melakukan perampasan aset adalah Kejaksaan Agung, Kepolisian, atau lembaga peradilan lain. PPATK tidak bisa menjadi lembaga yang merampas aset.

“PPATK hanya lembaga yang sifatnya bukan peradilan, karena di bawah presiden. PPATK bentuknya lembaga yang memberikan informasi. Memang PPATK berguna bagi penegakan hukum, tapi tidak semua yang berhubungan dengan penegak hukum adalah penegak hukum,” paparnya.

Gayus mengingatkan masalah penyitaan aset ini sangat sensitif karena berkaitan dengan persoalan HAM. Bahwa seseorang belum dinyatakan bersalah sebelum diputus oleh pengadilan.

Kunci dari persoalan penyitaan aset adalah di penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung, Kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ditambahkan mantan anggota Komisi III DPR ini, bahwa naskah akademik dari RUU Perampasan Aset ini harus kuat, karena berkaitan dengan HAM. Dijelaskannya, perampasan aset ini merupakan follow in crime dari sejumlah kejahatan, misalnya narkotika, tipikor, dan sebagainya.

Mengenai perbedaan perampasan aset di RUU Perampasan Aset dengan penyitaan barang yang dilakukan terhadap kejahatan korupsi yang merugikan negara, Gayus menjelaskan bahwa perampasan aset ini tidak berdiri sendiri, tapi berkaitan dengan UU Tipikor yaitu pembuktian terbalik.

Gayus menjelaskan, dalam UU Tipikor itu aset seorang tersangka baru bisa dirampas kalau penyidik bisa membuktikan jika aset tersebut hasil kejahatan. Jika  terdakwa tidak bisa membuktikan asetnya itu miliknya diperoleh dengan cara yang sah, maka penyidik masih harus berkewajiban membuktikan bahwa itu hasil kejahatan.

“Harusnya tidak seperti itu, tapi harus berlaku mutlak. Tesangka harus bisa membuktikan. Beban membuktikan itu ada di orang yang disangkakan. Kalau tersangka tidak bisa membuktikan, yasudah itu hasil kejahatan,” papar Gayus.

Proses penyitaan dari aset tersangka ini, kata Gayus, yang disebut dengan perampasan.