Saatnya Menjadi Santri Sufipreneur

Oleh : Akhmad Mifathusalam (Santri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri dari Brebes)

Menghadapi masa depan, santri harus benar-benar kuat tidak hanya dari aspek aqidah, syariah, dan akhlak. Tetapi, harus kuat juga dalam bidang ekonomi. Hal tesebut seyampang dengan hadis yang artinya, “Kemuliaan dunia dengan Ilmu dan amal”.

Artinya, dua hal tersebut harus menyatu dan terpatri dalam pribadi setiap santri dalam menghadapi masa depan dengan sekian tantangan zaman. Sehingga aqidah, syariat dan akhlak tidak tergerus oleh muatan nafsu.

Bila dua hal ini benar-benar terwujud, maka yang bersangkutan adalah profil santri sufipreneur. Seorang santri yang bisa menyeimbangkan antara ritual ukrowi dan ikhtiar duniawi dalam satu tarikan nafas dzikir.

Untuk mewujudkannya, diperlukan proses yang sistemik dari hulu hingga hilir. Mencetak sosok sufipreneur harus by design dengan sistem pembelajaran yang menduking ke atas tersebut. Tidak cukup hanya mengandalkan “barokah” saja tanpa ditopang oleh desain kurikulum yang suport dengannya.

Jika mencetak sosok sufipreneur hanya melulu mengandalkan “barokah” maka demikian ini saya sebut by accident. Tak banyak yang bisa sampai pada level ini.  Polanya tidak terukur sehingga sulit menularkannya kepada yang lain secara sistemik.

Ada dua pola yang bisa diterapkan untuk mendesain kurikulum sufipereneur. Pertama, menjadikan enterpeneur sebagai pendekatan. Artinya, beberapa materi pelajaran berisi muantan-muatan enterperenur. Dalam diri seorang enterperenur ada kepribadian berupa risk taker, fighter, leadhership, konsisten, kompetitif, komunikatif dan lain-lain.  Muatan kepribadian ini harus terintegrasi dengan materi pelajaran lainnya. Tentu banyak referensi baik ayat Quran atau hadis yang menjadi landasan dalam mewujudkan santri yang sufirenuer.

Kedua, menjadikan enterpreneur dan sufi sebagai muatan kurikulum mandiri. Pelajaran dan pendidikan enterpreneur menjadi mata pelajaran secara khusus dan mandiri mulai dari jenjang Tsanawiyah hingga pasca pesantren. Santri harus rajin belajar dan patuh pada guru sebagai tradisi pesantren. Dengan terus belajar, ilmu yang banyak pasti akan diperoleh.  Adapun dengan tunduk dan patuh pada guru, keberkahan ilmu akan digapai.

Santri yang “sukses” ialah mereka yang pulang ke masyarakat membawa ilmu yang banyak dan ilmu yang barokah.

Hanya saja, soal keberkahan ini masyarakat acap kali hanya “Mengavelingnya” dengan kekayaan, jabatan dan ketokohan. Artinya, bila santri pulang kemudian “miskin”, tidak jadi pejabat, atau tidak jadi kiai/ustdaz maka ilmunya dianggap tidak barokah.

Soal ini, penting untuk dipahami bahwa keberkahan itu abstrak. Indikasi nyatanya adalah bertambahnya kebaikan, sedangkan kebaikan bisa dihasilkan dari banyak hal. Maka kurang elok bila keberkahan dikaveling hanya dengan “satu hal” saja. Adapun soal pencapaian mendapatkan sesuatu seperti kekayaan, jabatan dan ketokohan maka hal itu hanya sebagian kecil indikasi kongkritnya.

Namun apabila ingin sukses dengan  ukuran materi misalnya-sebagaimana yang diasumsikan masyarakat-maka santri tidak cukup mengandalkan ijazah saja. Selain ijazah, santri butuh skill/keterampilan yang profesional. Bahkan seringkali ijazah tidak dibutuhkan dalam konteks-konteks tertentu. Itulah mengapa para Masyayikh selalu berpesan supaya kita mondok tidak mengejar ijazah, tapi mengejar ilmu.

Akan tetapi, skill saja tidak cukup. Skill memerlukan motivasi yang tebangun secara kontinu. Acap Kali skill seseorang “raib” karena tidak dipupuk oleh motivasi. Dengan motivasi, seseorang akan terdorong untuk mengembangkan dan menekuni skill yang milikinya. Sehingga pulang ke rumah kalau menjadi seorang tokoh agama berjiwa wirausaha. Saat mendapatkan amanat sebagai pejabat publik bisa menjaga dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan agama. (*)