PSI Persoalkan Pembedaan Verifikasi Parpol

PSI mengujikan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)

JAKARTA (Pelitaindo.news) Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (20/6/2022).

Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili oleh Giring Ganesha Djumaryo (Ketua Umum PSI) dan Dea Tunggaesti (Sekretaris Jenderal PSI), Senin (20/6/22).

PSI mengujikan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.” Menurut PSI, Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Kuasa hukum PSI (Pemohon), Rian Ernest dalam persidangan secara daring menyebutkan, saat verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan merujuk pada Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Pada norma tersebut mensyaratkan beberapa hal, di antaranya terpenuhinya kepengurusan parpol di tingkat provinsi hingga kecamatan, kantor tetap untuk kepengurusan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, hingga tahapan akhir pemilu, dan minimal keterwakilan perempuan 30% di kepengurusan pusat. Pada parpol parlemen, ketentuan ini hanya dilakukan pemeriksaan secara dokumen, sedangkan bagi parpol nonparlemen, dilakukan pemeriksaan dokumen yang dilanjutkan pula dengan verifikasi faktual. Dengan demikian, sambung Rian, telah terjadi pembedaan sekaligus diskriminasi terhadap parpol nonparlemen. Hal ini menurutnya tidak sejalan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

“Verifikasi Faktual Seluruh Parpol”

PSI menyebutkan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 menjadi dasar pemberlakuan verifikasi yang berbeda antara parpol parlemen dengan parpol nonparlemen. Verifikasi faktual membutuhkan biaya yang besar. PSI mengaitkan hal ini dengan pelaksanaan  Pilkada 2020. Untuk menjaga kualitas demokrasi, meski anggaran negara untuk penanganan Covid-19 cukup besar, negara tetap menjalankan Pilkada 2020 tanpa perlakuan berbeda.

Berdasarkan hal tersebut, PSI berkeyakinan pelaksanaan verifikasi faktual bagi seluruh parpol tidak akan membebani perekonomian negara. Sehingga hal ini akan memenuhi hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan persamaan di depan hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

“PSI berharap pesta demokrasi tak hanya diikuti oleh partai politik parlemen tetapi juga partai nonpalemen. Sebab semuanya merupakan partai politik yang merupakan organ yang hidup dinamis, maka sudah selayaknya seluruh parpol diperlakukan secara sama dan layak, “kata Rian dalam Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 173 pasal (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Seluruh partai politik, yakni (i) partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan sudah lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019; (ii) partai politik yang telah lulus verifikasi pada Pemilu 2019 dan tidak lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019; dan (iii) partai politik baru  wajib lulus verifikasi administrasi dan factual oleh Komisi Pemilihan Umum.”

“Ne Bis In Idem”

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasihati Pemohon agar menambahkan kedudukan hukum dan hak konstitusional yang berkaitan dengan kerugian yang dialami dengan berlakunya norma yang diujikan tersebut. Selain itu, Enny juga menasihati Pemohon agar menguraikan ne bis in idem dari perkara tersebut agar dapat mengubah pendirian Mahkamah terhadap batu uji dan alasan permohonannya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan catatan kepada Pemohon agar memperhatikan norma yang telah diputus Mahkamah pada Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Melalui putusan ini, Pemohon dapat lebih fokus dan memahami norma tersebut telah dimaknai oleh MK. Manahan juga menyinggung legal standing Pemohon.

“Sementara itu mengenai legal standing, belum terlihat AD/ART yang menyebutkan apakah ketua umum dan sekjen yang dapat menjadi wakil partai dalam dan di luar sidang,” ungkap Manahan.

Berikutnya Hakim Konstitusi Arief Hidayat menekankan perlunya bagi Pemohon mencermati perkembangan UU Pemilu secara cermat terutama berkaitan dengan pasal yang diujikan dan dimaknai oleh Mahkamah, “Coba lebih cermat dalam mengajukan permohonan dan untuk menghindari ne bis in idem sehingga konstitusionalnya berbeda. Jadi, tunjukkan betul perbedaannya dengan permohonan terdahulu yang telah diputus MK,” jelas Arief.

Untuk memperbaiki permohonan ini, Pemohon diberikan waktu hingga Senin, 4 Juli 2022. Sidang berikutnya akan diinformasikan lebih lanjut kepada Pemohon oleh Kepaniteraan MK. (RM/Red)