Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.*)
Demokrasi Rusak, Investor Lari
Pemilu 2024 seharusnya menjadi ajang konsolidasi demokrasi dan stabilitas politik nasional. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Proses elektoral yang diwarnai kecurangan, intervensi kekuasaan, dan pelemahan lembaga independen membuat kepercayaan publik dan pasar goyah. Investor asing, yang semula melihat Indonesia sebagai pasar berkembang yang menjanjikan, mulai menarik dananya.
Kapital bersifat sensitif terhadap risiko. Ketika lembaga seperti KPU, Bawaslu, hingga Mahkamah Konstitusi dipertanyakan netralitasnya, maka investor membaca ini sebagai sinyal instabilitas jangka panjang. Capital outflow meningkat, nilai tukar rupiah melemah, dan pasar modal kehilangan gairah. Krisis kepercayaan terhadap proses politik mengganggu persepsi risiko negara—dan ekonomi nasional pun merasakan dampaknya.
Anggaran Politik, Rakyat yang Membayar
Pesta demokrasi 2024 menyedot ratusam triliun dari APBN dan APBD. Alih-alih menjadi investasi demokrasi yang sehat, anggaran jumbo ini membuka peluang korupsi dan pemborosan. Pengadaan logistik yang tidak efisien, honorarium fiktif, dan pengawasan yang lemah menjadi catatan kelam dari pelaksanaan pemilu dan pilkada.
Lebih buruk lagi, anggaran politik yang membengkak menggeser prioritas belanja negara dan daerah. Program bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur mikro tertunda demi biaya kampanye terselubung. Kepala daerah yang terpilih melalui jalan mahal pun cenderung “balik modal” melalui kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Politisasi Birokrasi, Ekonomi Daerah Tersandera
Pilkada 2024 memperlihatkan bagaimana birokrasi dijadikan alat politik. ASN ditekan untuk loyal kepada kandidat tertentu, bukan lagi pada pelayanan publik. Akibatnya, mutasi jabatan berdasarkan kepentingan politik menjadi hal yang lazim. Birokrasi kehilangan netralitas dan kompetensinya.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian dalam kebijakan ekonomi daerah. Perizinan berubah-ubah, proyek dipolitisasi, dan investor lokal kesulitan membaca arah pembangunan. Ketika birokrasi disandera oleh kepentingan politik, maka daya saing daerah pun runtuh. Rakyat yang menggantungkan hidupnya pada program pembangunan menjadi korban ketidakjelasan arah kebijakan.
Krisis Kepercayaan dan Pelemahan Konsumsi
Demokrasi yang cacat tidak hanya menimbulkan gejolak politik, tetapi juga memicu krisis kepercayaan yang mendalam. Rakyat mulai menahan konsumsi, menunda investasi, dan mengurangi pengeluaran. Survei konsumen menunjukkan penurunan indeks kepercayaan sejak awal 2024, yang berimbas langsung pada penurunan konsumsi rumah tangga.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia. Ketika mayoritas rakyat memilih untuk menunggu dan melihat, maka mesin ekonomi nasional melambat. Pemerintah bisa saja meluncurkan stimulus, namun selama kepercayaan belum pulih, hasilnya akan minim.
Oligarki dan Ketimpangan yang Mengakar
Pemilu dan Pilkada 2024 juga menegaskan konsolidasi kekuatan oligarki. Para pemodal besar, pemilik tambang, dan elite politik menyatu dalam poros kekuasaan. Mereka menentukan siapa yang naik, siapa yang diberi proyek, dan siapa yang dijaga dari hukum.
Ketika kebijakan dibuat untuk menyenangkan pemilik modal, maka distribusi ekonomi menjadi timpang. Proyek raksasa seperti IKN dan food estate dibiayai besar-besaran, sementara pelaku UMKM, petani, dan nelayan semakin terpinggirkan. Rakyat kecil dicekik oleh inflasi dan biaya hidup, namun tidak mendapat perlindungan atau perhatian dari negara.
Oligarki juga mengendalikan narasi. Media dijadikan alat propaganda, dan kritik dianggap subversif. Demokrasi kehilangan substansi, dan rakyat kehilangan saluran untuk memperjuangkan hak-haknya.
Penutup: Demokrasi yang Menyimpang, Ekonomi yang Gagal
Krisis ekonomi yang terjadi saat ini bukan hanya soal globalisasi atau gejolak pasar internasional. Ini adalah hasil langsung dari kerusakan sistem demokrasi di dalam negeri. Demokrasi yang sehat menghasilkan pemerintahan yang akuntabel, kebijakan yang inklusif, dan ekonomi yang berkeadilan. Sebaliknya, demokrasi yang diselewengkan akan melahirkan instabilitas, korupsi, dan krisis kepercayaan.
Jika Indonesia ingin keluar dari jerat krisis, maka pemulihan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari pemulihan demokrasi. Reformasi institusi, penguatan netralitas birokrasi, pemberantasan oligarki, dan transparansi dalam proses politik adalah prasyarat untuk membangun ekonomi yang kuat dan berpihak pada rakyat.
Kini, bola ada di tangan publik: apakah kita akan terus diam melihat demokrasi dipermainkan, atau mulai menuntut perubahan yang hakiki demi masa depan yang lebih adil.
*) Pegiat pendidikan, pegiat UKM, aktivis organisasi, Advokat; tinggal di Bandung.