Di sela-sela istirahat kegiatan PD PKPNU MWCNU Wanasari Penulis menyempatkan ngobrol tentang NU dengan sebagian peserta di pojokan gedung NU ranting Glonggong. Obrolan dengan santai dan ringan yang sarat dengan muatan pergerakan NU terutama di tingkat bawah (akar rumput) terasa agak singkat, namun ternyata memiliki makna dan arti yang sangat dalam.
Dalam obrolan tersebut tidak ada nara sumber, karena semua memiliki peran yang sama untuk berbicara tentang NU. Tentu dengan sudut pandang dan latar belakang serta referensi yang berbeda. Akan tetapi perbedaan tersebut menjadi kekuatan untuk memandan persoalan dengan komprehenship. Sehingga sudut pandang tersebut menjadi pilar yang bisa menyatukan dengan pemahaman yang utuh.
Satu hal yang menarik saat sekarang adalah ” ngobrol politik NU “. Hal tersebut karena sebentar lagi kontestasi nasional sebagai bagian dari implementasi demokrasi akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024. NU menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pesta demokrasi dengan dinamika sikap politik warga NU yang sangat menarik pula.
Lebih menarik lagi bahkan bisa unik ketika melihat ekspresi politik dari elit NU yang berbeda pilihan. Dengan gerbong umat dan komunitasnya yang tidak secara formal struktural para elit politik mendapatkan “berkah politik “. Karena memang NU secara organisatoris tidak terlibat dalam politik praktis. Namun demikian secara personal sebagai warga NU (nahdliyin) memiliki hak dan partisipasi politik.
Barangkali inilah bagian “pesta demokrasi” dengan kenikmatan duniawi yang bisa dirasakan oleh mayoritas warga NU. Dari tingkat elit sampai wong cilik tidak lepas dari berkah politik yang dinikmati oleh mereka dengan varian yang berbeda. Tentu hal ini para politis bisa mengukur nilai kapasitas beberapa elit dan wong alit yang akan berpengaruh dalam partisipasi politik dalam hitungan suara saat Pemilu 2024.
Elit NU dan tokoh NU tentu memiliki pengaruh terhadap kekuatan politik.
Karena mereka memilki umat dari kalangan orang alit (wong cilik). Sehingga kalimat dan tutur mereka akan menjadi rujukan bagi wong alit untuk menentukan pilihan politiknya.
Sekalipun tidak semua elit NU menjadi rujukan politik karena perubahan paradigma wong cilik dalam berpolitik, namun sebagian besar para politisi menjadikan elit NU menjadi daya tarik suara. Hal inilah yang memunculkan polarisasi aspirasi politik dengan ijtihad politik yang berbeda.
Perbedaan ijtihad politik tersebut tidak lepas dari tafsir ” khithah NU ” dengan ragam tafsir sesuai dengan kehendak dan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu pada satu sisi “khithah NU ‘ membawa keberkahan untuk warga NU (elit dan alit), disisi yang lain terjemah dan tafsir khithah memicu perbedaan cara pandang dalam pilihan politik.
Cara pandang yang berbeda dalam pilihan politik menjadi dinamika NU terkadang menjadi stigma dalam koridor ukhuwah nahdliyah. Lebih lebih hari ini dengan media sosial pesat, apapun bisa diakses oleh mayoritas nahdliyin. Sehingga pernyataan atau langgam elit NU dalam berpolitik terkadang menimbulkan kebingungan kaum alit NU.
Namun demikian sebagian kaum alit NU (wong cilik) berbaik sangka kepada elit NU yang bersikap dan membuat statemen tentang politik dan pemilu. Bahwa apapun yang dilakukan oleh elit NU semata mata demi kepentingan dan menjaga keutuhan bangsa dan negara. Inilah amanat yang terpenting dalam “khitah NU”. (*)
Editor : Elisa Nurasri