Bandung, Aswajanews.id | Dugaan pelanggaran disiplin birokrasi mencuat dari lingkup Pemerintah Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung. Sekretaris Camat Ujungberung, Drs. Jana Surjana, M.Si., yang telah memasuki masa pensiun sejak 8 Februari 2025, diduga telah melangkahi kewenangan Camat dalam menangani surat permohonan terkait dokumen pertanahan yang tengah disengketakan.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Aswajanews.id, pada 8 Juni 2024, Anwar Musyadad, S.H., M.H., selaku kuasa dari Acep Priatna bin Toyib bin Hasan, mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kecamatan Ujungberung untuk mendapatkan salinan Letter C No. 407 Persil 251 atas nama Toyib bin Hasan. Permintaan itu disusul dengan surat kedua tertanggal 8 Oktober 2024, yang memohon pembaruan surat keterangan Camat dan Lurah. Yang mengejutkan, surat balasan atas permohonan tersebut ditandatangani langsung oleh Sekcam Drs. Jana Surjana, bukan oleh Camat definitif, Abriwansyah Fitri, AP, S.Sos., M.AP.
Dalam suratnya, Jana menyebut bahwa data tanah tersebut sebelumnya telah dilimpahkan ke wilayah kelurahan masing-masing sejak tahun 2017–2018, dan dokumen yang diminta tidak ditemukan di kantor kecamatan. Namun kemudian, saat proses pemindahan ruang arsip PPATS pada bulan November 2024, Jana menyatakan bahwa dokumen Kohir 407 Persil D 251 atas nama Toyib bin Hasan ternyata ditemukan masih berada di Kecamatan Ujungberung, dan akan diserahkan ke Kelurahan Cigending melalui berita acara resmi. Surat resmi tersebut hanya ditembuskan kepada Lurah Cigending, tanpa mencantumkan Camat sebagai penerima tembusan atau pihak yang diberi laporan.
Langkah administratif sepihak ini memunculkan pertanyaan serius. Dalam sistem pemerintahan, keputusan menyangkut dokumen hukum strategis, terlebih dalam perkara konflik pertanahan, seharusnya diambil oleh pejabat struktural tertinggi yang memiliki kewenangan formal, yakni Camat. Hal ini ditegaskan oleh Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, bahwa kewenangan itu melekat pada jabatan, bukan pada individu pembantu. Sekretaris Camat tidak dapat menggantikan posisi Camat untuk urusan strategis atau berdampak hukum tanpa adanya pelimpahan tertulis.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Dr. H. Agus Pramusinto, MDA., juga menyatakan bahwa setiap tindakan birokrasi harus didasarkan pada akuntabilitas struktural. Jika tidak, maka tindakan itu dapat dinilai cacat administrasi dan berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang.
Salah satu kuasa hukum dari pihak yang menolak klaim tersebut, Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., mempertanyakan kredibilitas pernyataan Jana.
“Kalau benar buku tanah itu baru ditemukan, maka publik berhak tahu: siapa yang menemukan? Kapan, di mana, dan siapa saksinya? Untuk siapa dokumen itu menguntungkan? Jangan-jangan bukan ditemukan, tapi dibuat menggunakan blanko kuno. Karena sejatinya, Buku Tanah Persil 251 Kohir itu adalah atas nama H. Bahroem bin Tajib, bukan Toyib bin Hasan sebagaimana diklaim,” ujar Bernard.
Fakta-fakta ini mencuat dalam forum mediasi yang digelar pada 19 Juni 2025 di Kecamatan Ujungberung atas permohonan dari pihak Acep Priatna melalui kuasa hukumnya.
Dengan adanya dugaan pelampauan wewenang oleh Jana Surjana, pertanyaan publik bergeser pada satu hal krusial: bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap seorang pejabat yang telah pensiun? Dalam hukum administrasi negara, pensiunnya seorang pejabat tidak menghapus tanggung jawab atas tindakan yang ia lakukan semasa menjabat. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan pejabat yang melampaui kewenangan tetap dapat diperiksa dan dipertanggungjawabkan, baik secara administratif maupun hukum, meskipun yang bersangkutan sudah tidak aktif dalam jabatan publik.
Inspektorat Kota Bandung pun memiliki kewenangan untuk melakukan audit investigatif atas tindakan administratif Jana Surjana. Jika terbukti terjadi pelanggaran prosedur atau penyalahgunaan wewenang, maka surat atau dokumen yang ditandatanganinya dapat dibatalkan secara hukum. Selain itu, hasil pemeriksaan juga dapat berujung pada sanksi moral, administratif, atau bahkan pidana jika terdapat unsur pelanggaran hukum seperti pemalsuan dokumen, penggelapan arsip negara, atau persekongkolan dalam upaya pengalihan hak atas tanah yang tidak sah.
Kini publik menunggu langkah tegas dari Inspektorat Kota Bandung. Apakah tindakan Sekcam tersebut hanya kelalaian administratif di ujung masa jabatan, ataukah bagian dari skema mafia tanah yang lebih luas? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi batu uji bagi integritas birokrasi dan ketegasan pengawasan internal pemerintah daerah (Tim Investigasi)