Kronologi sebenarnya dari peristiwa penembakan Brigadir J di Kompleks Duren Tiga, Jakarta Selatan akhirnya diungkap polisi setelah mendalami gelar perkara Jumat siang (13/8/2022) di Bareskrim Polri. Kabareskrim Agus Andrianto mengindikasi tidak ada peristiwa pelecahan terhadap Putri Candrawathi, istri Irjen Ferdy Sambo. Agus menyebutkan, indikasi tak ditemukan peristiwa pelecahan tersebut terungkap dari hasil gelar perkara yang dipimpin langsung olehnya .
Dipaparkan Dirtipidum, semua saksi kejadian menyatakan Brigadir Josua almarhum tidak berada di dalam rumah, Brigadir J masuk ke dalam tempat kejadian perkara (TKP) rumah dinas di Kompleks Duren Tiga Nomor 46 tersebut setelah dipanggil oleh Ferdy Sambo.
Namun pada hari Jumat (8/7/2022) Isteri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi membuat laporan polisi terkait dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J seperti yang disampaikan oleh juru bicara Polri pada Senin (11/7/ 2022) bahwa tembak-menembak antaranggota terjadi karena pelecehan yang dilakukan Brigadir J terhadap istri pimpinannya FS. Saat itu dilaporkan, bahwa Putri teriak dari kamar sehingga membuat ajudan lainnya, termasuk Bharada E dan saksi lainnya yang berada di lantai dua terkejut dan langsung turun menanyakan ada kejadian apa. Di saat itu terjadilah tembak-menembak.
Peristiwa pelecehan seksual diindikasi bohong seiring perkembangan waktu dan hasil penyidikan yang dilakukan Tim Khusus Polri, terbukti hal itu hanya skenario yang dibuat oleh Ferdy Sambo. Kini Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri telah menggugurkan laporan dugaan pelecehan yang dilaporkan oleh Putri Candrawathi, termasuk laporan dugaan percobaan pembunuhan terhadap Bharada E yang dilaporkan anggota Polres Metro Jakarta Selatan pada Jumat (8/7). Bagaimana selanjutnya? Apakah itu tidak ada sanksinya membuat laporan palsu?
Mengenai laporan palsu yang dibuat Putri Candrawathi apakah untuk itu dia dapat dipidana? Jawabannya, bisa dipidana! Tetapi lebih jauh, kedua laporan tersebut masuk dalam kategori sebagai upaya untuk menghalang-halangi penyidik dugaan pembunuhan berencana Brigadir J. Kedua laporan tersebut dinyatakan gugur, dan menjadi satu bagian masuk dalam kategori obstraction of juctice, menjadi bagian dari upaya menghalangi-halangi pengungkapan dari pada kasus 340 pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat.
Terlepas dari menjadi pelaku obstraction of juctice, membuat laporan palsu termasuk tindak pidana. Laporan palsu merupakan suatu bentuk penyampaian berita, keterangan, ataupun pemberitahuan yang tidak benar atas suatu kejadian. Pada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan pengertian secara eksplisit mengenai laporan palsu, namun berkaitan dengan laporan palsu dapat dikenakan ancaman pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 220 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan, “Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” Jadi, seseorang dapat diancam dengan pidana laporan palsu apabila memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 220 KUHP diantaranya: Adanya subjek hukum atau orang yang melakukan; Melakukan perbuatan berupa memberitahukan atau mengadukan suatu perbuatan pidana; Perbuatan pidana yang diberitahukan atau diadukan diketahui tidak dilakukan atau tidak terjadi; Sanksi atas perbuatan tersebut yaitu ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
Apabila laporan palsu tersebut berlanjut dalam tahap persidangan, maka seseorang dapat dikenakan ancaman pidana atas keterangan palsu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 242 dan KUHP ayat (1) menyatakan: “Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;” dan ayat (2) menyatakan: “Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Jadi, seseorang dapat dikenakan ancaman pidana keterangan palsu apabila memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 242 ayat (1) diantaranya: Adanya subjek hukum atau orang yang melakukan; Melakukan perbuatan memberikan suatu keterangan palsu; Perbuatan dilakukan dengan sengaja; Keterangan dilakukan diatas sumpah berdasarkan undang-undang;Dilakukan secara lisan maupun tulisan, baik secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut; Sanksi atas perbuatan tersebut yaitu ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 242 ayat (2) diantaranya: Adanya subjek hukum atau orang yang melakukan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP; melakukan perbuatan memberikan keterangan palsu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP; Dilakukan dalam pemeriksaan perkara pidana yang merugikan terdakwa atau tersangka; Sanksi atas perbuatan tersebut yaitu ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Jelas, Putri Candrawathi, isteri Irjen Ferdy Sambo adalah pelaku tindak pidana laporan palsu, dan kurang tepat dikategorikan sebagai pelaku obstraction of juctice. Jika Putri Candrawathi dikategorikan sebagai pelaku obstraction of juctice, justeru ia dapat dibebaskan dari dugaan pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 221 ayat (2) KUHP.
(Opini Bernard Simamora, S.Si, S.IP, SH, MH, MM)