
Konflik pertanahan di Indonesia kian kompleks dan mengakar. Satu sengketa tanah kerap kali mencakup pemalsuan dokumen (pidana), penguasaan lahan tanpa hak (perdata), hingga penerbitan sertifikat cacat prosedur (tata usaha negara). Namun, sistem hukum yang ada masih bersifat sektoral. Sengketa tanah diproses terpisah: ke peradilan pidana untuk pemalsuan, ke perdata untuk kepemilikan, dan ke PTUN untuk sengketa administratif. Hasilnya, keadilan menjadi terpecah, proses hukum menjadi mahal dan panjang, dan putusan-putusan yang saling bertentangan sering kali terjadi.
Konsep Peradilan Koneksitas: Menyatukan Jurisdiksi untuk Keadilan Substantif
Peradilan koneksitas adalah solusi struktural yang memungkinkan satu forum peradilan menangani perkara yang menyentuh lebih dari satu yurisdiksi hukum. Dalam KUHAP (Pasal 89-94), peradilan koneksitas sudah dikenal dalam konteks perkara sipil-militer. Namun pendekatan ini belum diterapkan dalam perkara pertanahan, padahal kompleksitasnya justru menuntut model peradilan terpadu. Secara konseptual, hal ini sejalan dengan asas “joinder of causes of action” dalam hukum acara perdata, yakni penggabungan beberapa gugatan dalam satu perkara jika berkaitan erat.
Karakter Multidimensi Sengketa Pertanahan
Sengketa tanah tidak pernah sederhana. Dalam banyak kasus, pemalsuan SKAW palsu (ranah pidana) menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat (ranah administratif), yang kemudian digugat oleh pemilik sah (ranah perdata). Penanganan terpisah terhadap masalah ini justru menyulitkan korban, menguntungkan mafia tanah, dan melemahkan posisi negara sebagai pelindung hak konstitusional warga. Jika semua unsur perkara tersebut ditangani oleh forum yang berbeda, bagaimana keadilan bisa dicapai secara utuh?
Studi Kasus: Ketika Keadilan Terbelah
Dalam perkara No. 3106 K/Pdt/2018, Mahkamah Agung memutus sahnya sebuah sertifikat, meski dokumen dasarnya sedang disidik secara pidana. Tidak ada mekanisme koneksitas yang dapat menyatukan proses ini, sehingga pemalsuan tidak berdampak terhadap status sertifikat. Akibatnya, hak rakyat yang dirugikan tidak pernah benar-benar dipulihkan. Ini menunjukkan bahwa peradilan yang terfragmentasi justru melanggengkan ketidakadilan.
Peradilan Koneksitas sebagai Transisi Menuju Peradilan Khusus Pertanahan
Gagasan membentuk Peradilan Khusus Pertanahan memang tengah bergulir. Namun karena memerlukan revisi UU dan dukungan politik nasional, maka peradilan koneksitas dapat menjadi langkah transisi yang konkret. Mahkamah Agung dapat membentuk panel hakim lintas yurisdiksi untuk menangani perkara pertanahan yang kompleks, dilengkapi dengan ahli agraria, notariat, dan geodesi. Ini bukan hanya solusi yuridis, tetapi juga strategi membangun preseden kelembagaan untuk peradilan khusus di masa depan.
Pembelajaran dari Negara Lain
India memiliki Land Tribunals. Filipina memiliki DARAB. Kedua institusi ini menangani sengketa tanah dengan pendekatan interdisipliner. Bahkan Thailand mengintegrasikan proses hukum dan administrasi pertanahan melalui ALRO. Indonesia tidak kekurangan sumber daya, hanya butuh keberanian struktural.
Rekomendasi Kebijakan
- Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan MA tentang Peradilan Koneksitas Pertanahan.
- Komisi III dan II DPR mendorong revisi UU No. 48/2009 untuk membuka jalur pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan.
- Kementerian ATR/BPN bersinergi dengan Mahkamah Agung membentuk Gugus Tugas Penyelesaian Sengketa Terpadu.
Dimensi Filosofis dan Sosiologis
Tanah bukan sekadar properti, melainkan identitas, warisan, dan sumber kehidupan rakyat. UUD 1945 (Pasal 28H) menjamin hak atas tempat tinggal yang layak dan penghidupan yang adil. Negara wajib menjamin akses keadilan bagi masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanah, termasuk melalui sistem peradilan yang adaptif terhadap kompleksitas agraria.
Penutup
Peradilan koneksitas bukan sekadar ide hukum. Ia adalah jembatan menuju keadilan agraria substantif. Dalam negara hukum yang berkeadilan, hukum tidak boleh berjalan dalam ruang yang sempit dan terpisah. Ia harus hadir secara utuh, responsif, dan menyatukan.
Daftar Pustaka:
- UUD 1945 Pasal 24 dan 28H
- UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
- UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA
- UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
- Harsono, Boedi. (2008). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
- Soemardjono, Maria. (2009). Reforma Agraria dan Keadilan Sosial. Jakarta: Kompas.
- Komnas HAM. (2021). Laporan Sengketa Agraria dan Hak Ekosob.
- Putusan MA No. 3106 K/Pdt/2018
Artikel ini disusun Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum Perdata Pertanahan ; untuk mendorong wacana akademik dan kebijakan publik menuju reformasi struktural di bidang penyelesaian sengketa tanah.