Beranda Artikel-Opini Pelajaran dari Pemilu 2024 : Demokrasi Rusak, Investor Lari

Pelajaran dari Pemilu 2024 : Demokrasi Rusak, Investor Lari

5

Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.*)
Pemilu seharusnya menjadi ajang selebrasi demokrasi dan konsolidasi stabilitas politik nasional. Namun, Pemilu 2024 justru memperlihatkan wajah demokrasi yang retak—penuh cacat prosedural, intervensi kekuasaan, dan pengaburan prinsip netralitas lembaga negara. Krisis demokrasi ini bukan hanya merusak legitimasi politik, tetapi juga mengirimkan sinyal negatif ke sektor paling sensitif dari ekonomi: kepercayaan investor.

Capital Outflow: Bukan Hanya Soal Global
Sejak kuartal pertama 2024, Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam arus keluar modal asing (capital outflow). Seringkali, gejolak global dijadikan alasan utama: ketidakpastian suku bunga The Fed, perlambatan ekonomi China, atau geopolitik kawasan. Namun, kenyataan di dalam negeri tidak bisa disangkal: kekacauan politik dan erosi demokrasi adalah pemicu yang tak kalah serius.

Investor global, terutama yang bermain di pasar modal dan surat utang negara, sangat memperhatikan kredibilitas institusi politik. Ketika Mahkamah Konstitusi terbukti berpihak, KPU kehilangan kepercayaan publik, dan elite politik terang-terangan bermain dinasti kekuasaan, maka sinyal yang dikirim ke pasar sangat jelas: Indonesia sedang memasuki fase instabilitas institusional.

Demokrasi dan Risiko Investasi
Bagi investor, demokrasi yang sehat bukan sekadar nilai moral; ia adalah jaminan stabilitas hukum, keberlanjutan kebijakan, dan prediktabilitas pasar. Ketika mekanisme checks and balances dilemahkan, dan keputusan strategis negara didikte oleh kompromi kekuasaan, maka risiko berinvestasi meningkat tajam. Kebijakan bisa berubah sewaktu-waktu, hukum menjadi alat politik, dan proyek strategis rentan digeser karena dinamika elite.

Rupiah pun melemah bukan hanya karena defisit transaksi berjalan atau neraca dagang, tetapi juga karena menurunnya kepercayaan investor terhadap tata kelola politik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang stagnan bahkan menurun di tengah optimisme regional mencerminkan kegamangan pelaku pasar atas arah pemerintahan ke depan.

Ketika Etika Politik Menjadi Variabel Ekonomi
Pasar tidak hanya membaca angka, tapi juga membaca narasi. Mereka mencermati konflik kepentingan dalam penunjukan pejabat, melihat potensi korupsi dari oligarki yang menguasai panggung politik, dan mempertimbangkan risiko hukum dari kebijakan yang bisa dijungkirbalikkan demi kepentingan kekuasaan.

Pemilu 2024 telah menjadi turning point. Bukan karena hasilnya, tetapi karena prosesnya. Ketika proses demokrasi kehilangan transparansi dan akuntabilitas, maka hasilnya—seberapa pun stabil secara politik di permukaan—akan dipandang cacat oleh dunia usaha. Indonesia, yang selama ini dianggap rising star di Asia Tenggara, mulai kehilangan daya tarik di mata investor jangka panjang.

Jangan Abaikan Dampak Jangka Panjang
Rusaknya demokrasi tidak serta merta menghancurkan ekonomi dalam semalam. Namun, dampaknya merayap pelan, tapi pasti. Investasi infrastruktur strategis bisa mandek, perusahaan multinasional bisa menahan ekspansi, dan perusahaan lokal kesulitan mendapat mitra pendanaan. Pada akhirnya, rakyat akan merasakan dampaknya dalam bentuk stagnasi lapangan kerja, naiknya harga, dan melambatnya pertumbuhan.

Peringatan ini harus menjadi cambuk bagi elite politik dan masyarakat sipil: membiarkan demokrasi dirusak bukan hanya ancaman moral dan konstitusional, tapi juga ancaman ekonomi nyata. Tidak ada ekonomi yang bisa tumbuh berkelanjutan di atas pondasi politik yang keropos.

Jika ke depan demokrasi terus diperlakukan sebagai alat kekuasaan dan bukan sistem untuk memperjuangkan kehendak rakyat, maka kepercayaan terhadap Indonesia—baik dari dalam maupun luar negeri—akan terus menurun. Ini adalah saat yang tepat untuk membalik arah: memperkuat institusi, menjamin netralitas penyelenggara pemilu, dan mengembalikan demokrasi pada akarnya. Karena pada akhirnya, tanpa demokrasi yang sehat, tidak akan pernah ada ekonomi yang kuat.

*) Pegiat pendidikan, pegiat UKM, aktivis organisasi, Advokat; tinggal di Bandung.

Terima kasih atas Koemntar Anda. Ikuti terus kontens portal ini.