Beranda Perkara Cuti Dianggap Mangkir, Pekerja Gugat PT. Dawee Printing Indonesia

Cuti Dianggap Mangkir, Pekerja Gugat PT. Dawee Printing Indonesia

Bandung, MH – Bermula dari penggunaan hak cuti salah seorang karyawan, yang disetujui HRD Manager PT. Dawee Printing Indonesia, namun di-cancel pimpinan perusahaan yang berstatus Tenaga Kerja Asing (TKA) berbuntut Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, akhirnya pekerja mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Hubungan Industrial Bandung.

Setelah melalui tiga kali perundingan bipartit, yang dilanjutkan dengan serangkaian perundingan tripartit di Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi, semuanya tidak mencapai penyelesaian, akhirnya gugatan pekerja didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Bandung, dengan nomor 160/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Bdg, Jumat (11/8/2022) oleh kuasa hukumnya, Lisda Yusriani, SH didampingi Ilma Puspanusa, SH para advokat pada Kantor Hukum Bernard Simamora dan Rekan (BS&R).

Menurut Bernard Simamora, S.Si, S.IP, SH, MH, MM, pada dasarnya hak cuti yang digunakan kliennya pada bulan Desember 2021 itu adalah hak normatif pekerja yang diatur undang-undang, dan memperoleh ijin yang sah dari atasan langsung pekerja dan HRD Manager PT. Dawee Printing Indonesia, Yusak Sutrisno. Namun, meskipun sudah mengeluarjan ijin cuti tertulis, Yusak Sutrisno kemudian merujuk keputusan Mr. Kim Soo Hoon selaku atasan HRD Manager yang hanya memberikan ijin cuti 1 hari saja. Berbekal ijin cuti tertulis HRD Manager itu, pekerja mengikuti upacara adat orangtuanya di Tana Toraja, Sulawesi, yang berlangsung berhari-hari. Tak disangka, pekerja menerima surat bahwa dirinya dikwalifikasikan HRD Manager PT. Dawee Printing Indonesia mengundurkan diri, alias PHK dengan hak uang pisah.

Persoalannya, menurut Bernard Simamora, Mr. Kim Soo Hoon sendiri berstatus Tenaga Kerja Asing yang tentu saja tidak mempunyai kewenangan di bidang kepersonaliaan sebagaimana dalam Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan, “tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu”. Hal itu juga diatur dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 349 Tahun 2019 Tentang Jabatan Tertentu yang dilarang diduduki oleh Tenaga Kerja Asing. Itu sebabnya, surat cuti kliennya sah dan berlaku.

Dalih pihak PT. Dawee Printing Indonesia menggunakan Pasal 168 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi, “Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”, dan ayat (2) berbunyi, “Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja”, tidak berlaku dalam kasus ini. Pernyataan pihak PT. Dawee Printing Indonesia “dikwalifikasikan mengundurkan diri” menurut Bernard Simamora, tidak memenuhi unsur sehingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dialami kliennya harus batal demi hukum.

Mediator pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, A. Dwi Kora, SE, melalui surat Anjuran resmi yang diterima pihak pengusaha dan pekerja menganjurkan agar PHK dibatalkan, namun hal itu tidak diindahkan pihak pengusaha. Menurut Dwi Kora, cuti adalah hak pekerja yang harus diijinkan oleh pihak perusahaan apabila pekerja mengajukan kepada perusahaan untuk melaksanakan hak cutinya. Dwi Kora menambahkan, mengacu kepada pasal 155 Undang Undang nomor 13 tahun 2003, selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan belum ditetapkan, maka pihak perusahaan wajib membayar upah dan hak-hak lainnya kepada pekerja.

Ilma Puspanusa menambahkan, karena PHK yang dialami kliennya adalah, maka pihak PT. Dawee Printing Indonesia wajib membayar hak-hak normatif kliennya sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yaitu uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan Uang Penggantian Hak Sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (4) ditambah dengan upah selama proses Pemutusan Hubungan Kerja berlangsung hingga adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

“Inti gugatan kami kira-kira seperti itu. Selanjutnya kami berhara pemeriksaan perkara berjalan baik dan berharap majelis hakim mengabulkannya”, tandas Lisda sambil beranjak melakukan pendaftaran gugatannya di Pengadilan Negeri Bandung, Rabu, 11 Agustus 2022 lalu. (Anas)*

Terima kasih atas Koemntar Anda. Ikuti terus kontens portal ini.