CIAMIS (Pelitaindonews) – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Sindangasih, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, menuai sorotan. Program nasional yang semestinya memberi kepastian hukum bagi warga justru meninggalkan sejumlah persoalan: sertifikat yang tak kunjung terbit, titik koordinat yang salah, hingga biaya yang melebihi ketentuan resmi.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengaku kecewa karena sertifikat tanahnya belum juga diterima, meski sudah mengikuti program sejak lama.
“Dari dulu sudah ikut PTSL, tapi sampai sekarang sertifikatnya belum beres-beres juga,” keluhnya.
Warga lain bahkan mengaku menerima sertifikat dengan data koordinat yang keliru. “Sudah bayar dan sudah lama menunggu, tapi titiknya salah, luas tanah juga beda,” ujarnya.
Kepala Desa Sindangasih, Nurjamal, S.Pd., yang menjabat sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) sejak 10 Agustus 2023, mengonfirmasi bahwa pelaksanaan program PTSL dilakukan sebelum masa jabatannya.
“Setahu saya, PTSL di sini mulai tahun 2019 dan terakhir tahun 2022. Jadi sebaiknya masyarakat menanyakan langsung ke panitia PTSL saat itu,” ujar Nurjamal kepada Pelitaindonews.
Ia mengakui bahwa sempat menerima sejumlah keluhan warga mengenai kesalahan teknis pada sertifikat, terutama terkait titik koordinat dan batas bidang tanah.
“Memang pernah ada yang komplain karena batas tanah atau titik koordinatnya tidak sesuai,” tambahnya.
Saat disinggung mengenai pungutan biaya, Nurjamal menyebut nominal sebesar Rp200.000 per bidang. “Itu informasi dari warga, saya hanya meneruskan keterangan yang dulu sudah berjalan,” katanya.
Upaya konfirmasi redaksi kepada Ketua Panitia PTSL periode sebelumnya, belum membuahkan hasil.
Biaya Melebihi SKB Tiga Menteri
Penjelasan lebih rinci datang dari Yuda, Kaur Desa Sindangasih yang kala itu bertugas sebagai petugas pemberkasan. Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, desa mendapat kuota sebanyak 1.700 bidang, sedangkan tahun 2022 mendapat tambahan 800 bidang.
“Hanya sekitar 400 bidang yang selesai. Dari jumlah itu, baru 100 yang disetor ke BPN,” jelasnya. Artinya, sekitar 300 bidang sertifikat belum diserahkan, sementara sebagian warga sudah membayar.
Soal pungutan, Yuda membenarkan adanya biaya Rp200.000 per bidang, melebihi ketentuan resmi SKB Tiga Menteri yang menetapkan maksimal Rp150.000 untuk wilayah Jawa–Bali.
“Tambahan Rp50.000 hasil musyawarah satu kecamatan, katanya untuk biaya patok dan materai,” ujarnya.
Namun, alasan tersebut bertentangan dengan aturan yang secara tegas melarang adanya tambahan biaya apapun di luar ketentuan resmi. Dalam SKB Tiga Menteri, biaya partisipasi hanya diperbolehkan untuk keperluan administrasi ringan, bukan pembelian material atau kebutuhan teknis lain.
Indikasi Penyimpangan dan Lemahnya Pengawasan
Fakta-fakta di lapangan memperlihatkan adanya indikasi penyimpangan prosedural dalam pelaksanaan program. Kenaikan biaya tanpa dasar hukum, lambatnya penyerahan berkas, dan kesalahan data teknis membuat warga kehilangan kepastian hukum atas tanah mereka.
Minimnya koordinasi antara panitia PTSL sebelumnya dan pemerintah desa saat ini turut memperburuk situasi. Warga pun tidak memiliki rujukan yang jelas untuk memperoleh penyelesaian.
Program PTSL sejatinya diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018 dan menjadi bagian dari kebijakan nasional percepatan pendaftaran tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Tujuannya adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi masyarakat kecil dengan biaya yang transparan.
Namun dalam praktiknya, pelaksanaan di tingkat desa kerap menghadapi persoalan klasik: minim pengawasan, lemahnya akuntabilitas panitia lokal, dan rawan pungutan tambahan.
Warga Menanti Kepastian
Hingga kini, warga Desa Sindangasih masih menanti kejelasan. Sebagian berharap agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ciamis segera turun tangan memverifikasi ulang data dan mempercepat penerbitan sertifikat yang tertunda.
“Kami hanya ingin sertifikat kami benar dan resmi. Sudah bayar, tapi belum selesai juga,” ujar seorang warga penuh harap.
Kasus di Desa Sindangasih menggambarkan potret kecil dari tantangan besar program PTSL secara nasional: program baik yang terhambat oleh lemahnya tata kelola di tingkat pelaksana.
(Nana S)






















