INDRAMAYU (Pelitaindo.news) – Anak Kuwu Desa Panyingkiran Lor Disinyalir dijadikan alat praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) mencuat di Desa Panyingkiran Lor, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tuduhan ini menyeret nama Kepala Desa (Kuwu) Tunaeni, yang diduga mengangkat anak kandungnya, TY (Inisial), sebagai Sekretaris Desa (Sekdes).
Menurut informasi yang dihimpun Tim Pelitaindo.News, TY mulai menjabat sebagai Sekdes sejak April 2024, menggantikan Tasim yang mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Namun, pengangkatan TY menuai kontroversi karena disinyalir melanggar regulasi, yaitu Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 30 Tahun 2020, yang secara tegas melarang kepala desa mengangkat anggota keluarga, termasuk anak atau pasangan, sebagai perangkat desa karena berpotensi menciptakan praktik KKN.
Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa, TY menerima gaji bulanan sebesar Rp 2 juta dari pemerintah pusat, meskipun posisinya sebagai Sekdes tidak melalui proses seleksi yang diatur oleh undang-undang. “Sejak sembilan bulan terakhir, TY menerima gaji seperti pamong desa lainnya. Padahal, pengangkatannya tidak melalui mekanisme perekrutan yang sah,” ujar seorang tokoh masyarakat yang meminta namanya dirahasiakan.
Lebih lanjut, sumber tersebut menambahkan bahwa TY jarang hadir di kantor desa dan tidak menjalankan tugasnya secara optimal. Beberapa pekerjaan administratif, seperti pembuatan Akta Jual Beli (AJB), bahkan dialihkan ke pihak notaris, padahal pekerjaan tersebut seharusnya bisa diselesaikan di tingkat desa dengan melibatkan camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Selain nepotisme, Kuwu Tunaeni juga disinyalir memanipulasi data terkait penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk menggaji TY selama sembilan bulan terakhir. “Yang lebih parah, ada indikasi manipulasi data penggunaan ADD. TY tidak hanya diangkat sebagai Sekdes tanpa dasar hukum yang jelas, tapi juga mendapat gaji dari anggaran desa,” tambah sumber tersebut.
Saat dimintai konfirmasi, Jumat (13/12), Kuwu Tunaeni mengakui bahwa Sekdes yang baru, TY, adalah anak kandungnya. Ia beralasan bahwa pengangkatan tersebut dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan setelah Sekdes sebelumnya mengundurkan diri. “Memang benar, Sekdes yang baru adalah anak saya, TY, menggantikan Pak Tasim. Jabatan ini bersifat sementara karena roda pemerintahan desa harus tetap berjalan,tapi anak saya sudah menikah terpisah dari kartu keluarga (KK),” ujar Tunaeni.
Namun, pernyataan tersebut menuai kritik karena bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Gaji pamong desa, termasuk Sekdes, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2019. Dalam pasal 81 PP tersebut, gaji tetap Sekdes dianggarkan melalui Alokasi Dana Desa (ADD) dengan jumlah minimal Rp 2,2 juta per bulan, setara dengan 110% gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan II/A.
Kasus ini telah memicu keprihatinan masyarakat setempat, yang mendesak pihak berwenang untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan Kuwu Tunaeni. Jika terbukti bersalah, sanksi tegas diharapkan dapat diterapkan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintahan desa.
Kasus ini sekaligus menjadi peringatan akan pentingnya penegakan aturan dalam tata kelola pemerintahan desa, guna mencegah praktik-praktik yang merugikan masyarakat. (Sn)