Upaya Hukum Atas Putusan Pengadilan Hubungan Industrial

Menurut Penjelasan Umum Angka 10 Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), tidak ada upaya hukum banding dalam Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Putusan PHI yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan PHI yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi. Pengaturan tersebut untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah.

Namun menurut Pasal 110 UU PPHI, putusan PHI mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja:

  1. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim;
  2. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.

Maka hanya ada 2 (dua) upaya hukum atas putusan PHI, yakni upaya hukum biasa (Kasasi) dan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali). Adapun jangka waktu pengajuan kasasi adalah 14 hari sejak putusan dibacakan dalam persidangan atau terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.

Jika terdapat bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah PK yang jangka waktu pengajuannya adalah 180 hari sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 108 UU PPHI menyebutkan:” Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.” Rumusan dalam pasal di atas juga memiliki makna yang sama dengan istilah “uitvoerbaar bij voorraad” yang artinya adalah putusan yang dapat dilaksanakan serta merta, alias putusan yang dapat langsung dieksekusi walau belum berkekuatan hukum tetap.

Dalam hukum acara perdata, aanmaning adalah penetapan yang dikeluarkan oleh hakim berisi teguran / peringatan untuk melaksanakan putusan. Penetapan yang dikeluarkan oleh hakim berisi teguran/peringatan untuk melaksanakan putusan.

Selain itu, merujuk pada Penjelasan Pasal 195 Herzien Inlandsch Reglement / Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya, maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.”

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Namun, walaupun tidak diatur dalam UU PPHI bukan berarti upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dilarang dalam UU PPHI. Tetapi oleh karena dalam UU PPHI tidak mengatur mengenai PK terhadap Putusan PHI, maka berlaku hukum yang sifatnya umum (Lex Generalis) dalam hukum acara perdata. Mengenai PK diatur di Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 3/2009), yaitu : “Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Hal di atas berarti, PK dibolehkan dalam PHI. Selanjutnya Pasal 66 ayat (2) UU MA juga bertalian dengan Pasal 108 UU PPHI, yang pada intinya pelaksanaan putusan pengadilan tetap dilaksanakan terlebih dahulu meski ada upaya PK.

Dapat disimpulkan bahwa ada 2 upaya hukum terhadap putusan PHI, yakni upaya Kasasi dan upaya hukum PK. Adapun jangka waktu pengajuan kasasi adalah 14 hari sejak putusan dibacakan dalam persidangan atau terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan. Jika terdapat bukti baru untuk PK jangka waktu pengajuannya adalah 180 hari sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

Sebagai informasi tambahan, dapat dilihat beberapa contoh putusan pada tingkat Kasasi dan PK untuk perkara PHI di direktori perkara website Mahkamah Agung.

Oleh Bernard Simamora, SH., S,IP., S,Si., MM.